Kamis, 10 September 2009

Mengenang Almamaterku

Berapa harga kenangan? Priceless? Dalam pengertian apa “priceless” mu? Tidak bisa diukur harganya, atau tak berharga? Pertanyaan-pertanyaan itulah yang mencecar pikiranku ketika pertama kali menginjakkan kaki lagi dipelataran SMP Negeri 1 SUKOMORO setelah hampir 23 tahun meninggalkannya. Mataku menjelajah, memindai tiap sudut sambil berharap masih bisa menemukan dan mengenali tempat-tempat dimana aku dulu pernah begitu bahagia menikmati kemudahan bersama guru, sahabat, teman, dan yah -anggaplah- teman special ketika itu. Tetapi rupanya 23 tahun adalah rentang waktu yang panjang. Apa yang kubayangkan tentang sekolahku dulu rupanya sama sekali berbeda dengan apa yang ada dihadapanku.Dari gerbang utama aku mulai menyisir pandangan ke berbagai penjuru. Lapangan Basket menghampar bersahaja yang dulu merupakan sawah yang dikelilingi kolam menjadi pusat kegiatan sekolah,tempat Upacara,sawah yang menjadi lapangan sepak bola sekarang sudah berdiri bangunan. Sambil menghela nafas panjang, akupun tinggal bisa tersenyum mengenang semua yang pernah terjadi pada diriku didalam bangunan itu, Gedung gedung sudah bertambah banyak ,Mushola sudah berdiri Megah , gedung serbaguna juga sudah ada,lingkungan yang dulu gersang sekarang menjadi penuh tanaman dan pepohonan yang rindang,Dulu kami sering diajak kegiatan bapak ibu guru lembur mengerjakan berbagai acara, menyelinap kabur dari angan-anganku,masuk sore sekedar membersikan ruangan kelas ,menegepel,menanam bunga di depan kelas,Cerdas cermat di Kabupaten dengan naik mobil VW pak Camat yang tidak muat akhirnya saling pangku,Bazar di Kecamatan,Kemah bersama di lapangan Sukomoro,Gerak jalan Nganjuk Sawahan,pertandingan Bola Voli di Tangsi membuka semua kenangan, dan banyak lagi yang tidak mungkin habis jika kutuliskan di blog Mutiara Hati ini.
Memasuki pelataran utama, harapanku untuk menemukan “situs-situs” yang dulu pernah aku ukir semakin kabur. Lapangan upacara ala kadarnya yang dulu tiap senin aku wajib menjemurkan diri disana, kini telah berubah beralaskan paving block yang bersih dan terawat, sementara dari tempat aku berdiri yang paling mencolok penglihatan adalah ruang-ruang kelas yang kini telah berubah menjadi banyak sekali, bangunannya tampak kokoh, warna temboknya bersih, daun jendelanya juga komplit, sama sekali berbeda. Semakin ke dalam aku semakin tidak mengenali bangunan sekolahku ini, aku seperti sedang berada di suatu tempat yang baru, entah apa yang telah diperbuat terhadap denah asli bangunan ini. Kalaupun ada yang membuatku tak merasa asing adalah sapaan dan sambutan hangat dari orang-orang yang telah begitu berjasa bagi kehidupanku, guru-guruku.Memandangi wajah-wajah tulus mereka inilah kemudian pertanyaanku tentang “priceless” sedikit menemukan jawaban. I love you all dear teachers.




Tidak ada komentar:

Posting Komentar